Thursday, April 12, 2012

Yang Menarik dari BUSN Non-Devisa

Di Indonesia, praktek perbankan sudah tersebar sampai ke pelosok pedesaan. Lembaga keuangan berbentuk bank di Indonesia berupa Bank Umum, Bank Perkreditan Rakyat (BPR), Bank Umum Syariah, Bank Umum Swasta Nasional (BUSN) dan juga Bank Pembiayaan Rakyat Syariah (BPRS). Masing-masing bentuk lembaga bank tersebut berbeda karakteristik dan fungsinya.
Bagaimana dengan statistik perbankan di Indonesia? Menurut saya, Bank Umum Swasta Nasional  (BUSN) Non-devisa merupakan salah satu aspek yang menarik untuk dibahas. Mengapa demikian? Karena bank tersebut merupakan bank-bank kecil yang juga memberikan pengaruh pada statistik perbankan Indonesia. Bank umum yang masih berstatus non devisa hanya dapat melayani transaki-transaksi di dalam negeri (domestik). Bank umum non devisa dapat meningkatkan statusnya menjadi bank devisa setelah memenuhi ketentuan-ketentuan antara lain: volume usaha minimal mencapai jumlah tertentu, tingkat kesehatan, dan kemampuannya dalam memobilisasi dana, serta memiliki tenaga kerja yang berpengalaman dalam valuta asing.
Contoh Bank Umum Swasta Nasional (BUSN) Non-Devisa antara lain :


 
Pada Statistik Perbankan Indonesia Desember 2011 yang terbit pada 15 Februari 2012 terlihat bahwa BUSN nondevisa tumbuh sangat subur sebesar 35,92%, dari 39,76 triliun rupiah per Desember 2010 menjadi 54,04 triliun rupiah per Desember 2011. DPK pun tumbuh amat subur 34,64%, dari 50,26 triliun rupiah menjadi 67,67 triliun rupiah. Lalu apa pengaruh dari naiknya angka angka tersebut? Terntu saja laba yang meningkat juga. Laba meningkat sebanyak 115,84% dari 1,01 triliun rupiah menjadi 2,18 triliun rupiah. Hal tersebut bisa terjadi karena BUSN nondevisa memiliki penghasilan bunga bersih (net interest margin/NIM) tertinggi yaitu 9,21% per Desember 2011. Laba yang meningkat tersebut berimbas pada return of assets (ROA) yang meningkat dari 1,82% menjadi 2,95%. Hal itu berarti bahwa kualitas aset BUSN nondevisa semakin baik. Jika diringkas menjadi grafik, maka terlihat seperti di bawah ini : 

Lalu apa yang menjadi tantangan bagi bank-bank mungil tersebut? Tantangan bukan hanya menghadapi persaingan perbankan nasional yang makin tajam, tetapi banyak tantangan dari luar seperti akan adanya kenaikan harga BBM dan tariff dasar listrik atau TDL. Untuk menghadapi tantangan-tantangan tersebut tentunya BUSN harus mengantongi modal yang besar, meningkatkan efisiensi, memperbaiki kualitas kredit, dan terakhir, jika ketiga hal tersebut sudah terpenuhi, maka BUSN harus siap menghadapi inflasi yang sangat tinggi. 

Sumber :
http://koran-jakarta.com/index.php/detail/view01/86324

Wednesday, April 11, 2012

Bank & Lembaga Keuangan 1

Fungsi bank yang paling utama adalah bagaimana bank itu bisa memperoleh dana lalu menyalurkannya kembali kepada nasabah yang memerlukan pembiayaan dari bank tersebut. Transaksi bisa dibagi menjadi dua macam, yaitu transaksi tanpa perantara dan transaksi dengan perantara, dan bank sebagai perantaranya (financial intermediary). Yang menjadi tantangan adalah, bagaimana perantara tersebut dapat mengelola dana yang dimiliki surplus unit (penabung) ke deficit unit (peminjam). Dalam hal ini, bank harus memperhatikan tiga hal yang mungkin terjadi antara bank dan peminjam dana. Yaitu asymmetric information (informasi yang kadang tidak sesuai dengan keadaan si peminjam), adverse selection (mekanisme untuk memilih peminjam yang layak mendapat pinjaman dari bank), dan moral hazard (itikad tidak baik dari pihak yang terlibat dalam industri perbankan).

Sumber dana bank berasal dari surplus unit yang menyimpan dananya di bank dalam bentuk giro, deposito, sertifikat deposito, dan tabungan. Sedangkan penyaluran dana berupa alokasi investasi ke deficit unit. Pada sisi penyaluran dana, bank mencari keuntungan dengan menetapkan bunga pada meminjam (profitabilitas). Jadi, salah satu aspek dalam manajemen dana bank adalah profitabilitas. Aspek lainnya adalah likuiditas yang menjaga bank tersebut selalu dapat membayar kewajibannya terhadap surplus unit yang ingin melakukan penarikan. 

Penyaluran dana bank dari surplus unit ke deficit unit harus memperhatikan aspek profitabilitas dan likuiditasnya. Porsi utama dari mencari keuntungan biasanya dialokasikan dalam bentuk aktiva produktif atau earning assets. Earning assets terdiri dari kredit, surat berharga, penempatan, dan penyertaan modal. Tetapi tidak semua dana yang berasal dari surplus unit bisa disalurkan ke deficit unit, bank juga harus menyiapkan porsi untuk berjaga-jaga. Porsi tersebut biasanya dialokasikan dalam bentuk kas, simpanan di BI, atau aset lain yang bersifat likuid. Selain menyimpan dan menyalurkan dana, bank juga dapat berfungsi sebagai cash management bagi individu ataupun institusi dalam mengelola keuangannya. Dalam melakukan hal tersebut, bank tentunya memperoleh komisi atau fee.

Bank & Lembaga Keuangan 2

Dalam manajemen aset, bank harus memperhatikan beberapa aspek diantaranya profitabilitas dan likuiditas. Jadi bank harus mempunyai komposisi atau alokasi aset yang optimal yang dapat memberikan profit margin yang tinggi dengan tingkat likuiditas yang relatif aman. Selain itu, bank mempunyai kewajiban untuk membuka giro di Bank Indonesia dengan jumlah minimum tertentu yang ditentukan oleh Bank Indonesia. Penetapan jumlah minimum tersebut dapat digunakan oleh Bank Indonesia sebagai instrumen moneter, misalnya mempunyai tingkat likuiditas yang lebih rendah dibandingkan dengan cadangan dan kas. 

Selain jumlah minimum, bank juga boleh menaruh kas dan simpanan di bank sentral lebih besar dari jumlah minimum. Kelebihan ini disebut excess reserve. Setiap bank mempunyai jumlah yang berbeda-beda dalam menyimpan excess reserve, dan tentunya dengan alasan dan pertimbangan yang berbeda-beda pula. Salah satu kegunaan excess reserve adalah untuk rekening pembayaran antar bank, misalnya akibat proses kliring. Misalnya karena bank yang bersangkutan kalah kliring sehingga harus membayar ke bank lain lewat simpanan giro.

Salah satu kebijakan moneter adalah menetapkan Giro Wajib Minimum (GWM). Bank Indonesia dapat menaikkan atau menurunkan presentase minimum tersebut sesuai dengan situasi moneter yang melatarbelakanginya dengan tujuan untuk menstabilkan nilai rupiah. Seperti pada tahun 2010, terjadi kenaikan GWM dari 7,5% menjadi 8% karena adanya tekanan inflasi serta ekses likuiditas perbankan yang tinggi dan persisten perlu dikendalikan agar tidak berdampak pada peningkatan ekspetasi inflasi yang dapat berpengaruh pada stabilitas moneter.

Perhitungan kualitas aset menjadi salah satu faktor utama yang diperhitungkan dalam penilaian kesehatan bank. Peraturan Bank Indonesia (PBI) mengharuskan bank mempublikasikan klasifikasi aktiva produktif ke masyarakat. Kualitas kredit dikelompokkan menjadi : lancar, dalam perhatian khusus, kurang lancar, diragukan, dan macet.