Dalam manajemen aset, bank harus memperhatikan beberapa aspek diantaranya profitabilitas dan likuiditas. Jadi bank harus mempunyai komposisi atau alokasi aset yang optimal yang dapat memberikan profit margin yang tinggi dengan tingkat likuiditas yang relatif aman. Selain itu, bank mempunyai kewajiban untuk membuka giro di Bank Indonesia dengan jumlah minimum tertentu yang ditentukan oleh Bank Indonesia. Penetapan jumlah minimum tersebut dapat digunakan oleh Bank Indonesia sebagai instrumen moneter, misalnya mempunyai tingkat likuiditas yang lebih rendah dibandingkan dengan cadangan dan kas.
Selain jumlah minimum, bank juga boleh menaruh kas dan simpanan di bank sentral lebih besar dari jumlah minimum. Kelebihan ini disebut excess reserve. Setiap bank mempunyai jumlah yang berbeda-beda dalam menyimpan excess reserve, dan tentunya dengan alasan dan pertimbangan yang berbeda-beda pula. Salah satu kegunaan excess reserve adalah untuk rekening pembayaran antar bank, misalnya akibat proses kliring. Misalnya karena bank yang bersangkutan kalah kliring sehingga harus membayar ke bank lain lewat simpanan giro.
Salah satu kebijakan moneter adalah menetapkan Giro Wajib Minimum (GWM). Bank Indonesia dapat menaikkan atau menurunkan presentase minimum tersebut sesuai dengan situasi moneter yang melatarbelakanginya dengan tujuan untuk menstabilkan nilai rupiah. Seperti pada tahun 2010, terjadi kenaikan GWM dari 7,5% menjadi 8% karena adanya tekanan inflasi serta ekses likuiditas perbankan yang tinggi dan persisten perlu dikendalikan agar tidak berdampak pada peningkatan ekspetasi inflasi yang dapat berpengaruh pada stabilitas moneter.
Perhitungan kualitas aset menjadi salah satu faktor utama yang diperhitungkan dalam penilaian kesehatan bank. Peraturan Bank Indonesia (PBI) mengharuskan bank mempublikasikan klasifikasi aktiva produktif ke masyarakat. Kualitas kredit dikelompokkan menjadi : lancar, dalam perhatian khusus, kurang lancar, diragukan, dan macet.
No comments:
Post a Comment